Selasa, 13 Mei 2014

Hari Pendidikan Nasional

Artikel Hari Pendidikan Nasional

Hari ini, menjadi hari spesial bagi dunia pendidikan Indonesia, betapa tidak, tiap tahunnya setiap tanggal 2 Mei kita memperingati hari pendidikan nasional. Seperti biasa ungkapan, “selamat hari pendidikan nasional” banyak termuat di jejaring sosial atau di media–media lainnya. Pada hari ini juga diadakan upacara seremonial untuk memperingati hari pendidikan nasional di sekolah-sekolah, perguruan tinggi maupun di kantor pemerintah.
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tanggal 2 Mei 2014, menjadikan waktu yang tepat untuk merenungkan kembali berbagai persoalan pendidikan di negeri tercinta ini. Peringatan Hardiknas tahun ini secara kebetulan ketika bangsa Indonesia akan menghadapi hajatan besar dalam agenda pendidikan nasional yaitu Ujian Nasional (UN) tingkat SMP/MTs/Sederajat pada 5-8 Mei mendatang. Patut kembali menjadi renungan kita bersama mengenai pelaksanaan UN yang berdekatan dengan peringatan Hardiknas tahun ini.
Berbagai persoalan yang menyangkut UN menjadi diskusi menarik di kalangan praktisi pendidikan, akademisi, birokrat, dan bahkan para politikus. Memang Ujian Nasional selalu dianggap menjadi semacam momok yang menakutkan bagi dunia pendidikan di Indonesia, khususnya di kalangan peserta didik, kepala sekolah dan guru.
Menghadapi ujian nasional seperti ingin menghadapi perang. Berbagai persiapan yang kadang di luar akal sehat pun dilakukan untuk menghadapi yang namanya Ujian Nasional yang hanya beberapa hari itu. Kemudian hampir tiap tahunnya ditemukan bocornya kunci jawaban UN. Tidak tau apakah itu kunci jawaban asli atau palsu. Beredarnya kunci jawaban seperti itu setiap tahun dapat menganggu konsentrasi siswa. Bagi peserta didik yang tidak siap, misalnya, praktik kotor bernama kecurangan yang sangat merusak moral itu adalah satu-satunya pilihan untuk menghindarkan perasaan malu dan aib di mata teman-teman sekolah dan tetangganya, jika tidak lulus UN.
Kejujuran yang ditanamkan selama proses pendidikan menjadi hilang, gara-gara hanya ingin bisa lulus ujian. Kemudian masih ada lagi, kebanggaan semu pemerintah (daerah) ketika mengumumkan daerahnya berhasil meluluskan sampai 100 % siswa yang mengikuti ujian nasional. Itulah kebanggaan semu yang sebetulnya- mungkin- diperoleh dengan cara membiarkan terjadinya kecurangan saat ujian karena target kelulusan menjadi ukuran keberhasilan pendidikan. Di situlah praktik demoralisasi pendidikan terjadi. Jadi, UN selalu memunculkan sebuah penistaan bagi pendidikan di Indonesia. Kalau sudah seperti ini, masih pantaskah Ujian Nasional ini dipertahankan ?
Selain masalah pelaksanaan UN yang sampai saat ini masih menjadi perbedatan. Dunia pendidikan Indonesia juga di warnai dengan adanya berderet kasus asusila akhir-akhir ini yang terjadi di lembaga pendidikan, pencabulan, pelecehan seksual. Kasus foto dan video porno yang diperankan remaja yang masih duduk di bangku sekolah maupun yang sudah di perguruan tinggi sering menjadi berita yang terjadi di negeri ini. Kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan pun masih menjadi potret hitam di dunia pendidikan kita saat ini. Mengapa bisa sedemikian parah wajah pendidikan di Indonesia?
Karena sistem pendidikan yang ada sekarang ini masih mengedepankan kecerdasan otak (intelektual). Sementara kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual berada di urutan selanjutnya. Sebaiknya kita renungkan kembali ungkapan bapak pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara; Ing ngarso sung tulodo, di depan memberi teladan. Ing madyo mangun karso, di tengah membangun karya, Tut wuri handayani, di belakang memberi dorongan.
Meskipun terlihat sederhana, namun kalimat ini memiliki makna yang mendalam sebagai sebuah ungkapan bagi seorang pendidik atau seorang pemimpin baik moral ataupun semangat bagi anak didiknya. Di dalam kalimat itu terdapat semangat dan sifat yang seharusnya dimiliki oleh pendidik atau pemimpin di negeri ini. Bagaimana ia dapat menjadi tauladan dan contoh yang positif bagi pertumbuhan kualitas pendidikan kita. Oleh karena itu, nama Ki Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Sudah saatnya kembali kita melihat arti penting dari pendidikan, pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan yang bermoral, pendidikan yang berkarakter, pendidikan yang mengedepankan etika dan akhlak. Pendidikan yang memanusiakan manusia. Selamat Hari Pendidikan Nasional. (Penulis Fungsional Umum Pada Seksi Pendidikan Islam, KanKemenag Singkawang)

Kamis, 01 Mei 2014

HARI KARTINI


Artikel Hari kartini
 

 Artikel ini ditulis bertepatan dengan Hari Kartini yang diperingati setiap tahun pada tanggal 21 April. Raden Adjeng Kartini adalah salah satu tokoh pahlawan wanita Indonesia yang lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879. Kartini atau yang juga sering dikenal dengan R.A. Kartini merupakan seorang pelopor kebangkitan kaum wanita di Indonesia, khususnya kaum pribumi.
Biografi Kartini : Kartini lahir dari keluarga kaya raya, merupakan putri dari bangsawan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yang  juga menjabat sebagai seorang bupati di Jepara pada masa itu. Ibu Kartini bernama M.A. Ngasirah yang bukan merupakan istri utama dari R.M Adipati Ario Sosroningrat. Ayah Kartini pada awalnya bekerja sebagai seorang wedana di Mayong yang (pada masa itu) masih harus menuruti undang – undang kolonial Belanda berupa adanya peraturan pernikahan antara bupati dengan bangsawan.
R.A. Kartini adalah anak kelima dari sebelas bersaudara kandung dan tiri, juga merupakan anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV menjabat sebagai bupati pada usia yang muda, yaitu 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono merupakan seorang yang pandai dalam sastra bahasa. Kartini kecil menuntut ilmu di ELS (Europese Lagere School), sebuah sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda pada masa itu. Ditempat inilah R.A Kartini mempelajari bahasa Belanda. Namun Kartini hanya bersekolah hingga usia 12 tahun, karena pada masa itu, seorang perempuan harus tinggal dirumah setelah menginjak usia yang memungkinkan untuk dipingit.
Karena kemampuan Kartini dalam berbahasa Belanda, Kartini melanjutkan pelajarannya dirumah dengan banyak membaca surat kabar De Locomotief yang beredar harian di Semarang pada masa itu. Selain surat kabar, Kartini juga gemar membaca majalah  kebudayaan, ilmu pengetahuan, majalah wanita yang diterbitkan dalam edisi Belanda. Dari kegemarannya membaca, Kartini mulai mencoba untuk menulis. Ide tulisannya seringkali dikirimkan ke media surat kabar untuk dimuat, salah satunya ke harian De Hollandsche Lelie. Kartini pun mulai memiliki sahabat pena. Ia seringkali menulis surat kepada sahabat surat-menyuratnya yang ada di Belanda, seperti Rosa Abendanon yang banyak memberi dukungan dan masukan kepadanya.
Beberapa buku yang memiliki isi yang cukup ‘berat’ yang dibaca oleh Kartini antara lain Max Havelaar, Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht, Die Waffen, dll. Kartini juga gemar membaca buku – buku sosial, politik, roman, wanita, dan pengetahuan dari penulis – penulis terkenal pada masa itu seperti, Louis Coperus, Van Eeden, Augusta de Witt, Goekoop de-Jong, Van Beek, Berta Von Suttner, dll.
Dari kebiasaan membaca dan tukar pikiran dengan wanita – wanita barat, Kartini mulai tertarik dengan pola pikir wanita eropa pada saat itu. Membandingkan dengan wanita pribumi pada saat itu, strata wanita pribumi masih tergolong sangat rendah dan jauh dibandingkan dengan wanita eropa.
Hal inilah yang mendorong R.A Kartini untuk memajukan status wanita pribumi. Keinginannya tidak semata hanya memajukan strata atau derajat wanita pada masa itu, namun juga yang berhubungan dengan masalah sosial. Perhatiannya adalah memperjuangkan hak wanita agar memiliki kebebasan, otonom juga perlakuan hukum yang sama dalam masyarakat.
R.A Kartini menikah dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, seorang bupati Rembang yang pernah menikah 3x, pada tanggal 12 November 1903 pada usia ke-24. Oleh karena cita – citanya, suaminya memberi kebebasan kepada Kartini untuk melaksanakan fokus dan tujuannya semula.
Setelah itu, Kartini mulai merealisasikan mimpinya untuk memajukan wanita dengan mendirikan sekolah wanita yang terletak di sebelah timur pintu gerbang kantor bupati Rembang (kini menjadi Gedung Pramuka).
R.A. Kartini melahirkan anak pertama dan terakhirnya, RM Soesalit Djojoadhiningrat pada tanggal 13 September 1904. Kartini meninggal beberapa hari kemudian pada tanggal 17 September 1904 pada usia yang sangat muda, yaitu 25 tahun dan dikebumikan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Perjuangan Kartini tidak berhenti sampai disana, karena Yayasan Sekolah Kartini mulai didirikan dibanyak tempat, seperti di Semarang pada tahun 1912, diikuti di Surabaya, Cirebon, Yogyakarta, Madiun, Malang dan wilayah lainnya yang tersebar di Nusantara. Adapun tokoh yang turut membantu pembangunan sekolah Kartini tersebut adalah seorang tokoh olitik etis Belanda yang bernama Van Deventer.
Hari Kartini & Sejarahnya (21 April)
Hari Kartini pertama kali diresmikan sebagai salah satu hari nasional oleh Presiden pertama RI, Soekarno Hatta berdasarkan Kepres RI no.108, tanggal 2 Mei 1964 serta menetapkan R.A Kartini sebagai salah satu pahlawan wanita di Indonesia. Hari Kartini ditetapkan pada tanggal 21 April sesuai dengan hari kelahiran Kartini.
Kebesaran nama Kartini dan cita-citanya diabadikan menjadi nama jalan yang bukan saja terdapat di Indonesia, tetapi juga di negara Belanda dengan nama R.A Kartinistraat, seperti di Ultretch, Venlo, Amsterdam Zuidoost, Bilmer (ditulis dengan lengkap jl. Raden Ajeng Kartini), Haarlem. Nama Kartini juga dijadikan sebagai nama jalan di Jakarta Pusat.
Beberapa Buku Karangan R.A Kartini
Habis Gelap Terbitlah Terang (1922)
Merupakan kumpulan surat R.A Kartini selama berkoresponden dengan sahabat penanya di Belanda. Diterbitkan kembali dalam format baru pada tahun 1938 yang diterjemahkan oleh Armijn Pane. Buku ini berisi 87 surat yang ditulis R.A Kartini yang disusun sedemikian rupa.
Beberapa buku berikut juga merupakan buah pemikiran R.A Kartini yang dikumpulkan dari surat – surat Kartini kepada teman koresponden nya di Belanda maupun ide pikirannya di surat kabar. Sebagian besar merupakan kompilasi yang dibukukan kembali oleh penulis sastra dan pengarang.